Penyelesaian Kasus Prita Mulyasari Dengan UU ITE

    Author: refki Genre:
    Rating

    Saat dirawat Prita Mulyasari tidak mendapat kesembuhan, sebaliknya penyakitnya menjadi lebih parah dengan beberapa keluhan tambahan yakni pembengkakan di beberapa bagian tubuhnya. Lanjutnya Ibu Prita menemui kejanggalan pada keterangan medisnya, dimana trombositnya yang semula 27.000 pada diagnosis pertama menderita demam berdarah, kemudian secara terpisah dokter menginformasikan adanya “revisi” dimana trombosit Ibu Prita menjadi 181.000 dengan diagnosis virus udara dan gondongan.

    Keterangan medis tersebut antara lain, penjelasan medis tentang diagnosis Ibu Prita yang menderita demam berdarah hingga perubahan diagnosis menderita gondongan dan virus udara menular, harus dirawat dan dinfus serta diresepkan obat dengan dosis tinggi. Konsekuensinya, Ibu Prita mengalami pembengkakan di beberapa bagian tubuhnya seperti lengan, leher, dan mata. Hal ini selaras seperti yang dikeluhkan beliau: 
    1. Keluhan: laporan lab yang “direvisi” dengan trombosit 27.000 menjadi 181.000
    “…Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien…”
    1. Keluhan: pembengkakan beberapa bagian tubuh dan sesak napas
    “..Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi.  Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri…”

    Demikian keluhan yang diutarakan oleh pasien tentang prosedural perawatan dan komplain terhadap beberapa kasus medis yang tidak komunikatif dan informatif. Sayangnya, yang terjadi adalah menanggapi pernyataan dan komplain pasiennya, RS Omni Internasional Alam Sutra lantas berang dan merasa nama baik rumah sakit dan dokter bersangkutan tercemar. Sehingga komplain dan curahaan hati Ibu Prita Mulyasari berbuntut panjang di sidang pengadilan negeri Tangerang dan berakibat Ibu Prita Mulyasari dinyatakan bersalah. Ibu Prita resmi ditahan di Lembaga Permasyarakatan Wanita Tangerang sejak 13 Mei 2009 karena dijerat pasal pencemaran nama baik dengan menggunakan Undang-Undanga Informasi dan transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 27 ayat 3 sebagaimana terlampir pada halaman terakhir tulisan ini. Banyak pihak yang menyayangkan penahanan Prita Mulyasari yang dijerat pasal 27 ayat 3 Undang-Undang no 11 tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik karena akan mengancam kebebasan berekspresi. Pasal ini menyebutkan:
    “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik.”(UU ITE, 27:3).
    Beberapa aliansi menilai bahwa rumusan pasal tersebut sangatlah lentur dan bersifat keranjang sampah dan multiinterpretasi. Rumusan tersebut tidak hanya menjangkau pembuat muatan tetapi juga penyebar dan para moderator milis maupun individu yang melakukan forward ke alamat tertentu.

    Lebih lanjut, Departemen Komunikasi dan Informatika menegaskan bahwa tindakan Prita Mulyasari yang menyampaikan keluhan atas jasa sebuah layanan publik bukanlah merupakan penghinaan. Kepala Pusat Informasi dan Humas Depkominfo, Gatot S Dewa Broto, di Jakarta, Prita yang mengungkapkan keluhan terhadap suatu layanan publik melalui email merupakan hak dari seorang konsumen. Menurut dia, hal itu adalah sah sesuai dengan yang termuat dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 4 huruf d. Pasal itu berbunyi:
    “Hak konsumen adalah hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.”
    Oleh karena itu, menanggapi UU pasal 27 ayat 3 UU ITE unsur `tanpa hak` sebagaimana dimaksud di dalamnya menjadi tidak terpenuhi, sehingga Pasal 27 ayat (3) tersebut tidak bisa diterapkan untuk kasus ini. Lebih lanjut, Gatot mengungkapkan bahwa pasal tersebut memuat unsur “dengan sengaja” dan “tanpa hak”, yang mana unsur tersebut menentukan dapat tidaknya seseorang dipidana berdasarkan pasal ini.

    Pendapat:
    Kebebasan berpendapat dalam UUD 1945 pasal 28 secara kontekstual memang menjamin kebebasan berpendapat, akan tetapi kedudukannya tidak cukup kuat untuk melindungi hak-hak ibu Prita ketika mengungkapkan komplain dan keluhan terhadap pelayanan medis RS Omni Internasional di Tangerang. Di sisi lain, pasal tertentu dalam UUD 1945 juga menjamin hak-hak individu di dalamnya—staf dokter di rumah sakit bersangkutan. Hal ini karena pasal-pasal dalam UUD 1945 diinterpretasi pada tiap individu yang berbeda menjadi saling bertentangan dan tidak relevan. Beragam perspektif yang terjadi seputar sidang kasus Ibu Prita Mulyasari versus RS Omni Internasional membentuk public opinion yang variatif, beberapa secara penuh mendukung ibu Prita bebas dari segala tuduhan dan menyalahkan sikap agresif RS Omni Internasional, dan sebaliknya.

    Kasus Ibu Prita Mulyasari vs RS Omni Internasional menjadi bukti nyata adanya cacat hukum di Indonesia. Hukum Indonesia menjadi cacat karena kasus Ibu Prita Mulyasari menunjukkan bahwa hukum di Indonesia tidak lagi transparan, tidak ada supremasi hukum, dan tidak mengandung nilai-nilai perlindungan hak asasi manusia sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 28. Hukum Indonesia secara transparan memihak yang kuat, tidak ada kedudukan yang sama di dalam hukum. Terbukti dengan vonis bersalah terhadap Ibu Prita Mulyasari yang notabene powerless.

    Leave a Reply