Liverpool dan Romansa Buruk Britannia Stadium
“Tulisan ini dikirimkan oleh
saudara Shesar Andriawan @Shesar_Andri. Saran, kritik ataupun komentar
bisa dituliskan di fitur comment blog atau langsung ke penulis”
Banyak yang bilang Liverpool adalah
tim yang hanya menang sejarah. Sejarah bagus tentunya. Sayangnya dini
hari tadi (27/12) sejarah buruk saat berhadapan dengan salah satu tim
paling alot di Barclays Premier League (BPL), Stoke City. Tercatat
semenjak Stoke berhasil masuk kembali ke jajaran klub-klub terelit di
Inggris pada musim 2008/2009, rekor pertemuan kedua klub ini di ajang
BPL adalah : M10 L2 D5 S3 (10 kali main, 2 kali Liverpool menang, 5 kali
imbang, dan 3 kali Stoke menang). Tentu kita masih sangat ingat
bagaimana Stoke menjadi salah satu penyebab kegagalan Liverpool di bawah
komando Rafa Benitez meraih gelar juara BPL pertama dalam sejarah
karena mereka berhasil menahan imbang Liverpool dalam dua pertemuan di
musim 2008/2009. Catatan penting lagi, Liverpool belum pernah menodai
Britannia Stadium dengan kekalahan. Hampir. Hampir saja Liverpool
melakukannya dini hari tadi, dan berhasil digagalkan oleh Stoke, lagi.
Jadi, apa penyebab kegagalan pasukan Brendan Rodgers menaklukkan
Britannia Stadium?
(1) Stoke City yang Bermain Bagus dan Liverpool yang Jauh dari Matang
Determinasi tinggi, serangan efektif,
tembok pertahanan kokoh, dan kecerdikan memanfaatkan keunggulan fisik.
Itulah yang ditampilkan oleh Stoke dini hari tadi. Di bawah asuhan Tony
Pulis (sejak musim 2006/2007) Stoke dikenal sebagai tim yang diisi
pemain berbadan bongsor, dan sang arsitek tahu betul memanfaatkan
keunggulan itu. Stoke dikenal punya gaya main sederhana : gaya direct football memanfaatkan tinggi badan. Umpan jauh ke depan – manfaatkan keunggulan fisik – umpan ke rekan yang posisinya lebih bagus – shoot!.
Gaya khas mereka jelas terlihat dari gol pertama ke gawang Liverpool.
Shawcross mengumpan jauh ke area pertahanan, Agger kewalahan beradu
fisik dengan Jones, bola jatuh ke kaki Walters yang lepas dari kawalan
Skrtel yang terjatuh, Reina terkecoh, dan gol. 7 menit selanjutnya,
Stoke terus menekan Liverpool, mengirim beberapa umpan silang yang
selalu terlihat membahayakan, dan puncaknya pada menit ke-12 lagi-lagi
gol bersarang ke gawang Reina pada sebuah situasi tendangan penjuru.
Aktor kali ini adalah Jones. Dan sekali lagi terlihat betapa baiknya
Stoke dalam memanfaatkan keunggulan fisik mereka.
Stoke City adalah tim yang sudah matang.
Tony Pulis sudah mengarsiteki tim tersebut selama 6 tahun. Gaya bermain
mereka sudah pakem dan mereka teguh bermain dengan gaya itu. Bisa kita
lihat sendiri, nyaris tak ada pemain bertubuh kecil semacam Allen,
Sterling, bahkan seukuran Lucas sekalipun. Pulis yang dulu bermain
sebagai seorang bek tahu betul bagaimana cara meramu benteng pertahanan
yang kokoh. Musim ini mereka baru kebobolan 14 gol dan disebut-sebut
sebagai salah satu tim dengan pertahanan terbaik di Eropa.
Sementara Liverpool sendiri, di bawah komando Brendan Rodgers, adalah tim ‘kemarin sore’. Gaya permainan penguasaan ball possession
yang disukai Rodgers belum bisa dimainkan dengan baik oleh para pemain.
Rodgers sendiri belum mendapatkan semua pemain-pemain idamannya.
Singkatnya, Liverpool musim ini adalah tim yang jauh dari matang. Tim
yang belum bisa memainkan gaya yang disukai oleh Rodgers.
Menjadi tanda tanya ketika dini hari tadi
Rodgers memakai skema yang sama ketika melumat Fulham 4-0 beberapa hari
lalu. Bagaimana bisa tim yang belum matang memakai pendekatan yang sama
untuk melawan tim yang sudah matang bertahun-tahun, yang punya reputasi
sebagai pemilik salah satu pertahanan terbaik di Eropa, dengan ketika
mereka mengalahkan tim yang baru dua tahun diasuh oleh Martin Jol, yang
kehilangan dua pemain terbaik mereka (Dembele dan Dempsey) pada musim
panas dan para pemain kuncinya (Ruiz, Sidwell, Diarra, dan Davies) tidak
bermain karena cedera pada pertandingan di Anfield itu?
(2) Brendan Rodgers Belum Menjadi Seorang Ahli Taktik
Bicara tentang ahli taktik, para
pendukung Liverpool tentu akan teringat pada sosok Rafael Benitez. Pada
final Liga Champions 2005 di Istanbul, dengan sangat berani ia mengganti
Steve Finnan dengan Didi Hamann, memaksa Gerrard mengisi posisi
tersebut. Tujuannya jelas, ia ingin menguasai lini tengah yang saat itu
dikuasai AC Milan sehingga Kaka bisa dengan leluasa dan sangat berbahaya
mengacak-acak pertahanan Liverpool. Kita semua tahu hasil akhirnya.
Didi Hamann dan Xabi Alonso mengambil alih kuasa lini tengah, Milan tak
bisa berkembang, Liverpool dengan menakjubkan membalas ketinggalan tiga
gol dengan lunas, lalu memenangi pertandingan lewat adu penalti berkat
aksi heroic Jerzy Dudek.
Dini hari tadi, pada paruh kedua
pertandingan, Rodgers memasukkan Sterling menggantikan Suso, dan Lucas
digantikan oleh Henderson. Alih alih menguasai pertandingan, Liverpool
justru seperti kehilangan arah saat memasuki area pertahanan Stoke.
Suarez bekerja keras, sayang tak banyak rekannya yang seperti itu. Saat
mendapat bola ia kebingungan karena tak mendapat cukup dukungan dari
rekan-rekannya. Sterling yang diharapkan bisa mengacaukan bek-bek Stoke
malah bermain biasa saja. Kecepatannya nyaris tak berarti, dribelnya
gampang dihentikan, dan hanya satu kali saja ia melepas umpan silang
yang berhasil menemui Suarez.
Memasukkan Henderson sebetulnya sudah
tepat. Beberapa kali ia memenangi duel perebutan bola, namun cukup
membingungkan kenapa yang diganti adalah Lucas, bukannya Shelvey atau
Gerrard yang keduanya bermain buruk. Gerrard kerap kali melepas umpan
jauh, padahal di depan hanya ada 2-3 pemain Liverpool, berbanding dengan
5-6 pemain Stoke yang berjaga di area pertahanan mereka. Sementara
Shelvey sendiri bisa dibilang nyaris tak terlihat perannya di lapangan.
Kasarnya, Shelvey cuma hantu, dan Liverpool serasa bermain hanya dengan
10 orang.
Jika berani berjudi, saya membayangkan
Rodgers akan memasukkan Coates untuk menandingi keunggulan fisik
pemain-pemain Stoke. Lalu memasukkan Allen dan Henderson menggantikan
Gerrard dan Shelvey yang sedang bermain buruk. Liverpool akan bermain
dengan 3-5-2 atau 3-6-1 dengan Agger- Skrtel – Coates menjaga
pertahanan. Enrique dan Johnson didorong ke depan menjadi wing back, Lucas dan Henderson berperan sebagai double pivot
yang bertugas sebagai pemutus pertama serangan Stoke, Allen bermain
lebih ke depan sebagai pengatur tempo dan aliran bola. Sementara itu
Suso kembali bermain di posisi yang paling disenanginya sebagai #10
tepat di belakang Suarez.
Dengan begitu, dalam bayangan saya,
Liverpool akan keluar dari arus tempo permainan Stoke, karena terlihat
sekali dini hari tadi Gerrard dan Shelvey sangat tidak bisa memainkan
tempo permainan. Allen, seperti yang biasa kita lihat, memang sering
memutar-mutarkan bola di lapangan tengah. Terkesan kurang jelas apa
maksudnya, tapi sejatinya ia sedang memainkan tempo, member peluang
rekannya untuk membuka ruang dan masuk ke area pertahanan Stoke.
Sementara itu duet Henderson – Lucas akan sangat berguna untuk menguasai
lini tengah permainan, persis seperti yang dulu diperlihatkan Didi
Hamann/Javier Mascherano – Xabi Alonso. Lucas pandai membaca permainan,
sementara Henderson punya daya jelajah tinggi ditunjang stamina prima.
Suso mungkin memang kalah dalam soal fisik, tapi ia punya visi yang
bagus dan cerdik. Beberapa kali ia melakukan pergerakan yang licin, dan
melepas umpan-umpan yang tak terduga. Pada satu momen ia melepas umpan
cerdik yang sayangnya gagal dikontrol dengan baik oleh Liverpool. Suso
memang belum menjadi #10 yang ideal, tapi tak ada salahnya berjudi
memainkannya di posisi tersebut, apalagi Liverpool sudah dalam posisi
tertinggal dan melawan tim yang sangat alot.
(3) Liverpool Bukan Barcelona, dan Sebaiknya Memang Tidak Usah
Banyak yang menganggap Rodgers berusaha
membuat Liverpool bermain seperti Barcelona. Jika memang benar seperti
itu maka Rodgers akan menghadapi pekerjaan yang berat. Sederhana saja,
Liverpool bermain di Inggris, bukan Spanyol. Liga yang oleh seorang
Torres bilang lebih berat dalam hal adu fisik daripada di Spanyol. Masih
ingat bagaimana Barcelona kesusahan membongkar pertahanan Chelsea di
UCL musim lalu? Bisa jadi, Barcelona pun belum tentu bisa menaklukkan
Stoke dengan gaya bermainnya yang sudah pakem itu.
Jika memang ingin bermain Barcelona,
alangkah baiknya jika Rodgers tetap menyesuaikan dengan gaya permainan
BPL yang banyak adu fisik. Tak ada salahnya, Rodgers meninggalkan
permainan pass and move saat sudah mentok, untuk beralih ke rencana B seperti misal bermain direct football
dengan seorang penyerang yang bertubuh tinggi dan punya postur prima
untuk beradu fisik dengan bek lawan semacam Shawcross dan Huth. Lagipula
di Liverpool Rodgers punya maestro permainan direct football pada diri Steven Gerrard, atau juniornya yang masih dalam proses belajar, Jonjo Shelvey.
Liverpool adalah Liverpool, bukan Barcelona. Dan Inggris juga bukanlah Spanyol.
YNWA!!
Sumber :